Siklus imajinasi dalam bingkai teatrikal...
Serupa drama simponi para begundal...
Menggebu-gebu dengan binal...
Kepuasan tidak peduli perasaan para sundal...
Dunia dipersempit tak ubah lokalisasi...
Surga durjana memuaskan ambisi...
Kebaikan mana yang entah sedang dicari...
Materi bergelimangan dalam bekap para mucikari...
Kemiskinan menjadi tumbal untuk membenarkan diri...
Andai jendela dunia terbuka...
Akses mata tak terperangkap glamournya sosialita...
Hedonisme membuat buta...
Tidak malu dengan MBOK-MBOK penjual kayu bakar yang sedari dini berjibaku menatap dunia?
Sampai kapan kau zinahi raga?
Jika sudah terinfeksi dan menua, apalagi yang kau tumbalkan atas perilakumu di dunia?
Cih...
Aku heran dengan penggiat Hak Asasi Manusia?
Mucikari dianggap benar atas nama Hak Asasi Manusia...
Ia bela,tanpa memberikan pandangan yang ada dimuka...
Dipermalukan realita lebih baik, dari pada menyesal dibelakangan berkubangan penuh nestapa...
Cih...
Aku heran dengan pemuka agama...
Bukanya memberi pandangan dan topangan atas nama lembaga...
Malah menanamkan benih - benih luka...
Amarah menjadi angkara baru , lantas semakin angkuh tercebur dalam zina...
Cih...
Andai akses dunia,tidak tertutup kemunafikan...
Jadikan kebajikan alasan mencari keuntungan...
Jadikan lahan lokalisasi patron-patron hak asasi dan agama mencari penghidupan...
Sungguh menjijikan...
Dimana NEGARA?
Ketika kamuflase parodi mudah terlihat oleh mata...
Ketika semua terbiasa hidup dalam kemunafikan semata...
Dengan dalih sempit yang sungguh semacam orang BUTA REALITA!
(Inspirasi dari obrolan dengan Deby Priscilia soal LOKALISASI, HAM, AGAMA, dan NEGARA...)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar